Menelusuri Sejarah Kerajaan Mataram Islam

1 komentar

 

Menelusuri Sejarah Kerajaan Mataram Islam. Senang rasanya hari ini diberi kesempatan teman-teman Sabda Desa dari Perpustakaan Umum Dusun Jlegongan untuk mengikuti open trip yang bertajuk Bentang Mataram. Dalam perjalanan kali ini, aku dan dua puluh tiga peserta lainnya akan menelusuri jejak Kerajaan Mataram Islam pada masa pendirian, kejayaan, hingga keruntuhan.

Sabda Desa merupakan sebuah kumpulan pemuda pemudi lokal yang terbentuk untuk mengelola dan memajukan taman baca bernama Perpustakaan Umum Dusun Jlegongan yang beralamat di Jlegongan, Kurahan Kidul, Margodadi, Seyegan, Sleman, DIY. Taman baca ini sudah ada sejak 2015 dan masih aktif hingga sekarang. Kemudian trip kali ini merupakan pertama kali yang diselenggarakannya. Karena masih dalam suasana pandemi, kegiatan ini dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan. Perjanan kali ini dimulai dari Kotagede.

Kotagede sebagai saksi berdirinya Kerajaan Mataram Islam 

Bagi beberapa orang yang belum mengenalnya, mungkin Kotagede diketahui sebagai nama kecamatan saja, padahal tempat ini juga dikenal sebagai kawasan wisata budaya yang memiliki peninggalan sejarah dan cerita masa lalunya sendiri. Meski memiliki banyak peninggalan yang tersebar, Kotagede lebih dikenal oleh wisatawan sebagai kompleks yang berisi Masjid Gede Mataram Kotagede, Makam Raja-raja Mataram, dan Sendang Seliran. 

Kotagede dahulunya merupakan ibukota Kerajaan Mataram Islam. Kerajaan inilah yang juga menjadi cikal bakal Yogyakarta saat ini. Semua berawal ketika Ki Ageng Pemanahan mendapatkan hadiah berupa Alas Mentaok dari Sultan Hadiwijaya yang merupakan sultan Kerajaan Pajang. Hadiah tersebut didapatkan karena berhasil mengalahkan pemberontak kerajaan bernama Arya Penangsang.
Di Alas Mentaok inilah Ki Ageng Pemanahan mendirikan sebuah tempat tinggal hingga menjadi Kerajaan Mataram Islam. Ketika Ki Ageng Pemanahan wafat, putranya yang bernama Panembahan Senopati dinobatkan sebagai raja pertama kerajaan Mataram Islam dan pembangunan kerajaan terus berlanjut. Selain itu, Panembahan Senopati juga memperluas wilayah kerajaan dan Kotagede menjadi saksi kejayaannya saat itu. Raja-raja selanjutnya yang pernah berkuasa adalah Panembahan Hanyakrawati,  Raden Martapura dan Sultan Agung. Kemudian pada masa kepemimpinan Sultan Agung, ibukota Mataram Islam pindah ke suatu daerah bernama Kerto.

Perjalanan menuju Kerto Pleret, ibukota yang terlupakan
Setelah mengenal Kotagede secara singkat, perjalanan dilanjutkan menuju Situs Kerto yang merupakan cagar budaya yang berlokasi di Kerto, Kanggotan, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak banyak yang bisa dilihat oleh wisatawan. Berbeda dengan Kotagede yang masih memiliki bangunan peninggalan, Situs Kerto kini hanya tersisa fondasi keratonnya saja karena dahulu kontruksinya berasal dari kayu. Ini adalah kunjungan pertamaku, siapa sangka lahan kosong yang ada didepan mata ini ternyata dulunya pernah berdiri sebuah kerajaan yang begitu megah. Sangat disayangkan ya ?
Saat kepemimpinan Sultan Agung ibukota Kerajaan Mataram dipindahkan ke Kerto, sebuah desa yang berada di Bantul. Pada masa ini posisi raja juga diteruskan pada putarannya, Sunan Amangkurat I dan ibukota Kerajaan Mataram Islam sedikit bergeser ke Pleret. Untuk mengetahui peninggalannya, kami diarahkan menuju Situs Masjid Kauman Pleret.
Tidak jauh berbeda dengan yang kami kunjungi sebelumnya, tempat ini hanya tersisa bekas galian yang didalamnya berisi umpak. Tempat ini adalah bekas masjid keraton di masa Amangkurat I. Alamatnya ada di Kauman, Pleret, kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Makam Ratu Malang dan sisi lain dari Amangkurat I
Lanjut ke tempat yang berbeda dari sebelumnya, kami langsung menuju ke Istana Kematian. Dari namanya saja sudah mengerikan ya ? Ada kisah tragis didalamnya. Tempat ini juga dikenal dengan nama Antaka Pura yang berlokasi di bukit Gunung Sentono yang merupakan Makam Ratu Malang dan Ki Dalang Panjang Mas yang berada diatas bukit.
Ki Dalang Panjang Mas adalah seorang dalang yang terkenal di daerah Kesultanan Mataram. Ia memiliki rombongan pengrawit dan sinden, salah satunya adalah istrinya sendiri. Sinden tersebut bernama Retno Gumilang (Ratu Malang). Sunan Amangkurat I yang melihatnyapun ikut terpikat kepada Ratu Malang. Saking mencintainya, Ratu Malang kemudian diangkat sebagai selir.

Suatu hari Sunan Amangkurat I mengundang Ki Dalang Panjang Mas, Ratu Malang, dan rombongan pengrawit serta para sinden untuk pentas wayang di istana. Nahas, dalang beserta rombongannya itu  malah dibunuh, kecuali Ratu Malang. Pada saat itulah Sunan Amangkurat I merebut Ratu Malang sepenuhnya dari Ki Dalang Panjang Mas. Namun, Ratu Malang sulit menerima nasibnya kala itu hingga suatu hari ia memilih untuk bunuh diri dan menyusul suaminya. 
Sunan Amangkurat I kemudian memerintahkan para prajuritnya untuk menguburkan jasad Ratu Malang di Gunung Sentono, namun dibuatkan tempat tersendiri. Namun saat penggalian dan jasad Ratu Malang hendak dikebumikan, tempat itu malah muncul mata air dan tidak tidak pernah kering hingga saat ini. Akhirnya ia dimakamkan tidak jauh dari makam suaminya. Makamnya tetap terpisah, hanya saja diberi sekat berupa tembok mengingat statusnya saat itu yang telah menjadi selir raja.
Saat ini Kompleks Makam Ratu Malang sudah mengalami kerusakan, hanya tersisa tembok tebal mengelilingi makam Ki Dalang Panjang Mas, Ratu Malang, dan rombongannya. Sebagian sudah runtuh dan berlumut. Tempat ini begitu sepi dan teduh karena banyak pepohonan tinggi disekitarnya. Kini sumber mata air itu menjadi sendang yang dipercaya sebagian orang mampu memberi banyak manfaat. 

Akhir perjalanan menuju Makam Banyusumurup
Lokasi terakhir yang kami kunjungi adalah Makam Banyusumurup yang berada di Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tempat ini dikelilingi perbukitan dengan suasana yang begitu sejuk dan bikin ngantuk. Tempat ini juga banyak dikunjungi wisatawan untuk berziarah maupun berdoa bagi mereka yang memiliki hajat tertentu.
Tokoh utama yang dimakamkan di Kompleks Makam Banyusumurup adalah Pangeran Pekik. Selain itu ada pula makam Pangeran Lamongan, Rara Oyi, para kerabat dan pengikut Pangeran Pekik, serta kerabat Keraton yang mendapat hukuman. Pangeran Pekik adalah putra Pangeran Surabaya yang diperintahkan untuk pindah ke Mataram oleh Sultan Agung dan kemudian menikah dengan adik Sultan Agung yaitu Ratu Pandan Sari. Tak sampai disitu saja, selanjutnya salah satu puteri Pangeran Pekik dinikahkan dengan putera Sultan Agung bernama Sunan Amangkurat I.

Suatu ketika Pangeran Pekik membawa seorang gadis bernama Rara Oyi untuk diberikan kepada cucunya yaitu Sunan Amangkurat II. Ternyata Rara Oyi sebenarnya akan diperistri oleh Sunan Amangkurat I. Ketika mengetahui hal tersebut Sunan Amangkurat I lantas marah dan menganggap Pangeran Pekik berniat akan membangkang terhadap raja. Karena tidak terima atas perlakuannya, maka Sunan Amangkurat I memerintahkan pasukannya untuk membunuh Pangeran Pekik beserta kaum kerabat dan pengikutnya. Sedangkan Rara Oyi akhirnya juga ikut dibunuh oleh Sunan Amangkurat II atas perintah Sunan Amangkurat I.
Singkat cerita, pada tanggal 13 Februari 1755 telah terjadi Perjanjian Giyanti yang membuahkan kesepakatan yang berisi bahwa Kesultanan Mataram dibagi atas dua kekuasaan, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Perjanjian secara de jure ini menandai berakhirnya Mataram.
Duakakikuu
Saya senang berwisata dan sangat antusias dengan kuliner. Di blog ini, saya akan berbagi pengalaman dan rekomendasi tempat-tempat menarik untuk dikunjungi, serta makanan lezat yang dapat ditemukan di Yogyakarta. Ayo ikuti petualangan kuliner dan wisata saya !

Related Posts

1 komentar

  1. Sports Betting - Mapyro
    Bet the moneyline https://deccasino.com/review/merit-casino/ from 1:25 PM to 11:00 PM. 1xbet korean See more. MapYO Sportsbook features live 출장안마 odds, live 메이피로출장마사지 streaming, and detailed information.

    BalasHapus

Posting Komentar